Saturday, August 7, 2010

Puisi Sebagai Bahasa Cinta di Timur Tengah

Bonn, Jerman – Menyusul penerbitan buku Seribu Satu Malam dalam bahasa Jerman yang memperoleh banyak sanjungan, penerjemah dan musisi Claudia Ott mengalihkan perhatiannya ke syair Timur Tengah dalam Emas di atas Lapis Lazuli, sebuah antologi 100 syair cinta Timur Tengah yang berasal dari tiga millennium berbeda. Koresponden lepas Qantara.de, Mohamed Massad, berbincang dengan Ott tentang keindahan dan keragaman syair di kawasan ini.

Buku terakhir Anda adalah sebuah antologi puisi, Emas di atas Lapis Lazuli. Dari mana idenya ?

Claudia Ott: Pertama, idenya adalah dari banyaknya puisi yang ada dalam Seribu Satu Malam yang memang menjadi inti buku itu. Selain kisahnya, pesona Seribu Satu Malam, terutama dalam teks Arabnya, terletak pada puisi-puisinya yang sungguh membuat para pendengar dan pembacanya tertarik dan terpukau.

Saya sudah lama ingin menerbitkan karya yang mengapresiasi keindahan puisi, yang sebetulnya dianggap begitu penting di Timur, terutama karya bergenre syair cinta, yang sebenarnya merupakan salah satu tema sentral puisi di semua kebudayaan–khususnya puisi Timur Tengah! Bahkan orang bisa mengatakan bahwa bahasa cinta adalah bahasa Timur Tengah.

Kedua, saya memang ditugasi untuk menulis Emas di atas Lapis Lazuli: 100 Puisi Cinta Timur Terindah oleh penerbit C.H. Beck sebagai bagian dari serial 100 … Terindah. Serial ini meliputi buku-buku seperti 100 Doa Terindah Umat Manusia dan 100 Puisi Jerman Terpopuler.

Judulnya, Emas di atas Lapis Lazuli, berasal dari puisi Arab-Andalusia yang melukiskan kelap-kelip bintang di langit biru nan gelap. Metafora ini juga muncul dalam puisi cinta Mesir kuno, dan juga, tentu saja, dalam Seribu Satu Malam.

Kriteria apa yang Anda gunakan untuk memilih 100 puisi Timur terindah itu?

Masing-masing dari 14 bagian tema di buku ini berisi puisi-puisi pilihan dari semua zaman. Tentu saja, ini masihlah pilihan subjektif. Sebagian dari puisi-puisi itu telah menjadi penting bagi saya pribadi selama masa studi saya, atau di tahun-tahun yang saya habiskan di Timur Tengah, sementara yang lain karena pengalaman dan perjumpaan saya dengan banyak orang. Dan sebagian lagi ada di buku itu semata karena saya menyukainya.

Lalu ada puisi-puisi yang memang harus dimasukkan karena sudah terlampau terkenal untuk bisa disisihkan dari antologi semacam itu.

Saya memilih puisi dari tujuh bahasa yang berbeda, sehingga tidak semuanya saya yang menerjemahkan. Malah, sebenarnya hanya beberapa yang merupakan terjemahan saya. Sumbangan utama saya adalah penyajian sejarah ringkas berbagai penerjemahan dan adaptasi terhadap karya dalam Bahasa Timur yang telah dilakukan oleh para penulis seperti Martin Luther, Johann Wolfgang von Goethe, Friedrich Rückert atau Annemarie Schimmel, dan juga oleh penulis-penulis kontemporer seperti penyair Kurdi, Adel Karasholi dan penyair serta esais Turki, Zafer Senocak.

Meskipun ada minat yang cukup tinggi, namun jumlah terjemahan karya sastra Arab ke bahasa Jerman relatif masih sedikit. Mengapa bisa begitu dan bagaimana keadaan ini dapat diperbaiki?

Buku-buku politik saat ini memang mendominasi pasar dan persepsi orang tentang Timur Tengah modern. Masih jauh lebih banyak buku yang diterbitkan tentang Timur Tengah daripada terjemahan buku-buku berbahasa Arab (atau Persia, Turki, Afghanistan, dst.). Hal serupa juga terjadi menyangkut minat terhadap karya sastra.

Kita akan membaca buku dalam bahasa Inggris, Prancis atau Rusia jika ingin membaca buku yang bagus. Namun kita hanya membaca buku-buku dari negara-negara Arab jika kita ingin mencari tahu sesuatu tentang dunia Arab.

Kenapa begitu? Saya juga tak tahu. Tapi saya kira hal ini memang tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari situasi politik di Timur Tengah sendiri.

Saya ingin agar sastra Arab bisa menarik lebih banyak pembaca karena saya yakin ia layak mendapatkan pengakuan yang lebih!

Menurut Anda, peran seperti apakah yang dimiliki penerjemahan karya sastra dalam membantu menyatukan budaya-budaya yang berbeda?

Peran yang amat penting! Pentingnya penerjemah dan karya mereka bagi dialog antar karya sastra telah diperjelas dalam sebuah forum para penulis di Dubai tahun lalu. Banyak hal yang telah dan terus dikatakan mengenai masalah ini.

Penerjemahan mensyaratkan adanya hubungan nyata dan kooperatif serta kepentingan bersama di antara mereka yang terlibat. Namun, sayangnya, kita masih sering menemukan sikap berpuas diri dan agak arogan di pihak Eropa yang sastranya memang sudah terbilang mapan. Pelatihan penerjemahan karya sastra Timur, dengan demikian, menjadi sesuatu yang perlu ditingkatkan dan diperluas. Pelatihan seperti itu saat ini masih terlalu sedikit.


(Sumber: Qantara.de, 30 April 2009, www.qantara.de)

0 komentar:

Template by : @samduryat Rayana Samduryat